post image

BENCANA TANPA STATUS: Ketika Derita Rakyat Dibiarkan Menunggu Tanda Tangan

  • Administrator
  • 10 Des 2025
  • Ragam
  • 193 Lihat

Sudah lebih dari dua pekan, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh terendam bukan hanya oleh lumpur dan air bah, tetapi juga oleh air mata dan keputusasaan. Dari udara, tampak hamparan tanah yang ambruk seperti luka terbuka. Dari darat, tersisa puing-puing rumah yang kehilangan rupa. Dan dari hati rakyat, hanya tersisa satu doa yang terus diulang: semoga pertolongan benar-benar datang.

Namun hingga hari ini, satu kata penting itu tak kunjung terucap dari Istana: “Bencana Nasional.”

Padahal, di tengah reruntuhan dan ratapan, satu keputusan itu bisa menjadi pembeda antara hidup dan mati.

Ketika Tsunami Aceh Menjadi Cermin

Kita perlu menoleh ke belakang, 26 Desember ke tahun 2004.

Ketika gelombang tsunami menyapu Aceh dan sekitarnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tanpa ragu menetapkan status bencana nasional. Dalam hitungan hari, dunia bergerak. Dari Amerika hingga Jepang, dari Australia hingga Turki, semua datang mengulurkan tangan.

Dan tak satu pun merasa harga diri bangsa jatuh. Justru yang terangkat adalah martabat kemanusiaan.

Kini, dua puluh tahun berselang, sejarah seakan berulang—namun tanpa kebijaksanaan yang sama. Rakyat di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh masih berdiri di atas gunung lumpur, menatap kosong ke arah tempat di mana rumah dan keluarga mereka dulu berada.

Alat berat terbatas. Logistik tak memadai. Koordinasi lamban. Yang ada hanya penantian, dan penantian itu kian lama kian terasa seperti pengkhianatan.

Ukuran Apa yang Digunakan Negara?

Pertanyaannya sederhana:

apa sebenarnya ukuran negara untuk menetapkan status bencana nasional?

Apakah jumlah korban?

Ratusan jiwa telah meninggal dan hilang.

Apakah luas wilayah terdampak?

Tiga provinsi sekaligus jelas melampaui skala lokal.

Ataukah kemampuan daerah?

Keterbatasan alat, personel, dan anggaran menunjukkan bahwa daerah sudah berada di batas kemampuannya.

Lalu, apa yang sebenarnya ditunggu?

Takut dianggap lemah?

Atau takut membuka pintu bantuan internasional, seolah itu tanda kehilangan kedaulatan?

Jika demikian, harga diri macam apa yang dipertahankan di atas penderitaan rakyat sendiri?

Harga Diri di Atas Derita

Jika harga diri bangsa diukur dari kemampuan menolak bantuan, maka itu harga diri yang salah arah.

Kedaulatan sejati bukanlah menutup diri dari uluran tangan, melainkan mengakui keterbatasan dan bertindak cepat demi menyelamatkan nyawa manusia.

Yang kini berjuang bukan hanya warga Sumatera Utara, Sumatera Barat, atau Aceh. Mereka adalah warga Indonesia, bagian dari bangsa yang sering disebut besar dan kuat. Namun di hadapan bencana, kekuatan itu seolah runtuh di bawah beban birokrasi dan ego politik.

Ketika Presiden Terlambat Menyentuh Nurani

Presiden Prabowo dikenal tegas dan cepat dalam urusan pertahanan. Namun di medan bencana, kecepatan itu seolah menguap.

Rakyat tak membutuhkan parade simbolik atau kunjungan seremonial. Mereka membutuhkan keputusan berani—seperti yang pernah ditunjukkan SBY dua dekade lalu.

Apakah Presiden masih menunggu laporan “resmi”?

Padahal laporan paling jujur sudah terpampang jelas di layar televisi, di media sosial, di wajah-wajah pucat pengungsi dalam tenda darurat.

Bencana tidak menunggu rapat kabinet.

Bencana menelan siapa pun yang lambat berpikir dan terlambat bertindak.

Kita Membutuhkan Negara, Bukan Sekadar Pemerintah

Negara seharusnya hadir bukan hanya lewat foto udara dan kunjungan singkat, melainkan melalui tindakan nyata dan keputusan strategis.

Menetapkan status bencana nasional bukan berarti mengaku kalah. Justru itu tanda bahwa negara masih memiliki nurani.

Sementara lumpur menelan desa-desa, waktu menelan harapan.

Dan rakyat masih menunggu satu kata yang tak kunjung turun dari pusat kekuasaan: status.

Akhir Kata: Yang Terancam Bukan Harga Diri, Melainkan Nurani

Presiden Prabowo kini berada di persimpangan sejarah:

mempertahankan citra kuat yang dingin dan kaku, atau membiarkan sisi kemanusiaannya memimpin keputusan.

Karena dalam perjalanan bangsa ini, kita tidak akan dikenang karena menolak bantuan, melainkan karena menyelamatkan sesama tanpa menunggu perintah.

Dan bila hari ini status bencana nasional belum juga diumumkan, maka sesungguhnya yang sedang dilanda bencana bukan hanya Sumatera—

melainkan nurani bangsa.

— Kata Bang Saik —

Tentang Penulis

Karl Sibarani adalah pemerhati sosial, pegiat kemanusiaan, dan penulis opini publik. Aktif menulis tentang isu kebangsaan, lingkungan hidup, dan keadilan sosial.

Oleh: Karl Sibarani

0 Komen