post image

Indonesia di Persimpangan: Ketika Kekuasaan Membisu, Korupsi Merajalela, dan Bencana Menjadi Peringatan

Sebuah Renungan untuk Negeri yang Terlalu Lama Bersabar

Ada kalanya sebuah bangsa tidak hancur oleh perang, melainkan oleh kebohongan yang dianggap biasa, korupsi yang diwariskan sebagai budaya, dan kekuasaan yang diperlakukan bak berhala. Dan begitulah wajah Indonesia hari ini—negeri yang katanya “kaya raya”, tetapi rakyatnya masih harus berebut beras murah dan bertarung dengan nasib di pasar-pasar yang kian sesak.

Dari Sabang sampai Merauke, aroma busuk kekuasaan menyeruak seperti limbah politik yang tak kunjung dibersihkan. Di ruang-ruang rapat yang megah, para pejabat saling bersalaman di atas tumpukan janji palsu. Di layar televisi mereka tampil dengan senyum visioner, padahal di baliknya tersembunyi rekening gendut, proyek yang disulap dari uang rakyat, serta ambisi yang tak pernah kenyang. Kekuasaan di negeri ini ibarat cermin retak—memantulkan wajah rakyat yang letih dan pemimpin yang perlahan kehilangan rasa malu.

Sementara itu, bumi terus menangis.
Hutan-hutan dibabat, sungai disulap menjadi kuburan limbah, dan gunung diledakkan atas nama “investasi”. Ketika banjir, longsor, atau badai datang menerjang, kita menyebutnya “musibah alam”. Padahal alam hanya sedang membalas dengan cara paling halus: menenggelamkan keserakahan manusia.

Ironisnya, setiap kali bencana melanda, para pejabat datang dengan iring-iringan mobil mewah, berpose di depan kamera, dan berjalan menerobos lumpur sambil memanggung karung entah apa isinya. Satu tangan menggenggam mikrofon untuk berjanji bahwa “pemerintah hadir”, namun setelah kamera mati, mereka menghilang begitu saja—persis seperti janji yang larut dalam lumpur banjir.

Negeri ini seolah memiliki bakat alami dalam melahirkan pemimpin yang piawai beretorika, tetapi gagap dalam moral. Mereka fasih berbicara tentang good governance, tetapi lupa bahwa integritas bukanlah aksesoris politik. Mereka berteriak soal reformasi birokrasi, tetapi meja kerjanya sendiri dipenuhi amplop dan laporan fiktif.

Indonesia tidak kekurangan orang pintar; yang langka adalah orang jujur yang berani menantang sistem yang sudah lama membusuk.

Kini rakyat hidup di tengah tiga badai besar: kekuasaan yang congkak, korupsi yang rakus, dan bencana yang tak mengenal belas kasihan. Ketiganya saling berkaitan seperti jaring laba-laba yang perlahan menjerat bangsa ini hingga sulit bernapas. Yang lebih menyakitkan, sebagian dari kita mulai terbiasa.

Terbiasa melihat pejabat korup tertawa bebas.
Terbiasa melihat rakyat kecil mati perlahan dalam kesempitan.
Terbiasa melihat keadilan diperjualbelikan seperti saham dalam pasar kekuasaan.

Namun sejarah selalu punya cara untuk menagih.
Setiap kekuasaan yang dibangun dari kebohongan akan runtuh oleh kebenaran—cepat atau lambat.
Setiap kekayaan yang dikumpulkan dari kecurangan akan berubah menjadi beban bagi keturunan mereka.
Dan setiap pemimpin yang mengkhianati rakyatnya akan dikenang bukan sebagai negarawan, melainkan sebagai pencuri berseragam kehormatan.

Indonesia, negeri yang indah namun letih, kini berdiri di antara reruntuhan moral dan tumpukan janji politik yang menguap tanpa jejak.

Lalu pertanyaannya:
Masihkah ada yang berani berkata jujur di tengah gemuruh kepalsuan?
Masihkah ada pemimpin yang benar-benar memimpin, bukan sekadar mengatur?
Ataukah kita sedang berada pada masa ketika nurani telah pensiun, dan kejujuran menjadi penyakit langka?

Jika demikian adanya, mungkin Tuhan sedang menunggu satu hal yang belum juga terjadi:
kapan rakyat negeri ini benar-benar bangun dari hipnotis kekuasaan.

(Kata Bang Saik – Catatan dari Tepi Kehancuran Moral Bangsa) Oleh: Karl Sibarani

0 Komen